Asep Hidayat/NOVAN
Tumpahan
minyak menjadi masalah pencemaran lingkungan. Minyak mentah sulit
terurai dan bisa menyebabkan kematian makhluk hidup, terutama di
perairan. Kini ditemukan, jamur Fusarium oxysporum, yang mampu mengurai cemaran minyak sekaligus bertahan dalam kondisi kadar garam tinggi.
Tumpahan minyak umumnya terjadi akibat proses alam dan aktivitas manusia. Pencemaran minyak dari alam mencapai 60 persen. Sisanya akibat aktivitas manusia, seperti proses pengeboran dan transportasi.
Untuk merehabilitasi pencemaran minyak, tersedia pilihan teknik, baik secara kimia, fisik, maupun bioremediasi. Kini, bioremediasi makin sering diandalkan karena relatif aman bagi lingkungan.
Temuan terbaru, jamur Fusarium oxysporum (F oxysporum) mampu merehabilitasi lingkungan dari cemaran minyak.
Sebenarnya, keluarga Fusarium dikenal sebagai penyebab penyakit pada tanaman pertanian seperti bawang dan pisang.
Pada manusia, F oxysporum bersifat patogen, antara lain menyebabkan infeksi jamur pada kornea (fungal keratitis), kuku (onychomycosis), dan kulit (hyalohyphomycosis).
Mikroorganisme yang diisolasi dari hutan tropis di Indonesia itu bisa mengurai minyak mentah pada media air ataupun tanah dalam kondisi basa ataupun asam serta bersalinitas (berkadar garam) tinggi.
Temuan Asep Hidayat yang menjadi bahan tesis doktor di Universitas Ehime, Jepang, "Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs), Polychlorinated Aromatic Compounds (PACs), Polylactic Acid (PLA)/Kenaf, Composite, and Crude Oil by Fungi Screened from Nature", telah dipatenkan pada tahun 2011.
Temuan Asep dipublikasikan pada tahun 2012 di sejumlah jurnal internasional, seperti Journal of Environmental Science and Technology dan Fungal Biology.
”Saya mulai mencari jasad renik sejak 2007,” kata Asep, ahli mikrobiologi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan.
Skala laboratorium
Jamur F oxysporum teruji mampu mengurai minyak mentah dan beberapa turunannya seperti chrysene dan n-octadecane. Asep meneliti 62 sumber tanah di Jepang dan Indonesia. Ia mendapatkan 92 jamur yang mengerucut pada F oxysporum dalam penyaringan di laboratorium.
Isolasi F oxysporum dicobakan pada minyak mentah. Hasilnya, jamur mampu menguraikan. Uniknya, meski diisolasi dari hutan tropis, jamur ini tahan terhadap air laut yang berkadar garam tinggi.
”Air laut mengandung garam yang menyulitkan hidup mikroorganisme. Namun, jamur Fusarium bisa hidup dan efektif mengurai crude oil (minyak mentah),” katanya.
Selain tahan salinitas, mikroorganisme ini juga bisa tahan dalam kondisi basa dan asam (pH 4-8).
Jamur ini mampu mengurai senyawa berbahaya chrysene yang susah terurai menjadi karbon dioksida dan air yang aman bagi makhluk hidup.
Kini, Asep mengupayakan penerapan F oxysporum pada kondisi nyata di lapangan. Hal ini tidak mudah. Kondisi di lapangan dipengaruhi berbagai faktor seperti suhu, cuaca, dan arus.
Salah satu obsesi Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Kementerian Kehutanan adalah menemukan bioremediasi untuk pewarna tekstil yang mencemari sungai di kawasan industri tekstil. Kepala Puskonser Adi Susmianto berharap temuan serupa bisa diaplikasikan pada proses industri pulp dan kertas. Industri itu banyak menggunakan pemutih berbahan kimia dalam proses membersihkan warna kertas.
”Temuan Asep semakin menginspirasi Puskonser untuk melakukan upaya koleksi mikroba untuk berbagai kepentingan, baik bioremediasi, biohealth, bioenergi, bioplastik, maupun bioreklamasi,” kata Adi.
Untuk pemanfaatan mikroba sebagai agen bioremediasi, demikian Adi, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kualitas hutan dan lingkungan. Sebagai misal dalam pengolahan asam tambang, reklamasi pascatambang, hingga mengatasi pencemaran logam berat akibat penggunaan air raksa dalam penambangan emas.
Pemanfaatan sumber daya mikroba kian menjanjikan bagi masa depan Indonesia dan dunia. Terlebih lagi, Protokol Nagoya yang diratifikasi Indonesia pada 11 April 2013 membuka harapan pembagian keuntungan bagi pemilik ”plasma nutfah” berupa mikroba hutan tropis dapat digunakan oleh negara lain dan bermanfaat bagi kehidupan penghuni Bumi.
Tumpahan minyak umumnya terjadi akibat proses alam dan aktivitas manusia. Pencemaran minyak dari alam mencapai 60 persen. Sisanya akibat aktivitas manusia, seperti proses pengeboran dan transportasi.
Untuk merehabilitasi pencemaran minyak, tersedia pilihan teknik, baik secara kimia, fisik, maupun bioremediasi. Kini, bioremediasi makin sering diandalkan karena relatif aman bagi lingkungan.
Temuan terbaru, jamur Fusarium oxysporum (F oxysporum) mampu merehabilitasi lingkungan dari cemaran minyak.
Sebenarnya, keluarga Fusarium dikenal sebagai penyebab penyakit pada tanaman pertanian seperti bawang dan pisang.
Pada manusia, F oxysporum bersifat patogen, antara lain menyebabkan infeksi jamur pada kornea (fungal keratitis), kuku (onychomycosis), dan kulit (hyalohyphomycosis).
Mikroorganisme yang diisolasi dari hutan tropis di Indonesia itu bisa mengurai minyak mentah pada media air ataupun tanah dalam kondisi basa ataupun asam serta bersalinitas (berkadar garam) tinggi.
Temuan Asep Hidayat yang menjadi bahan tesis doktor di Universitas Ehime, Jepang, "Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs), Polychlorinated Aromatic Compounds (PACs), Polylactic Acid (PLA)/Kenaf, Composite, and Crude Oil by Fungi Screened from Nature", telah dipatenkan pada tahun 2011.
Temuan Asep dipublikasikan pada tahun 2012 di sejumlah jurnal internasional, seperti Journal of Environmental Science and Technology dan Fungal Biology.
”Saya mulai mencari jasad renik sejak 2007,” kata Asep, ahli mikrobiologi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan.
Skala laboratorium
Jamur F oxysporum teruji mampu mengurai minyak mentah dan beberapa turunannya seperti chrysene dan n-octadecane. Asep meneliti 62 sumber tanah di Jepang dan Indonesia. Ia mendapatkan 92 jamur yang mengerucut pada F oxysporum dalam penyaringan di laboratorium.
Isolasi F oxysporum dicobakan pada minyak mentah. Hasilnya, jamur mampu menguraikan. Uniknya, meski diisolasi dari hutan tropis, jamur ini tahan terhadap air laut yang berkadar garam tinggi.
”Air laut mengandung garam yang menyulitkan hidup mikroorganisme. Namun, jamur Fusarium bisa hidup dan efektif mengurai crude oil (minyak mentah),” katanya.
Selain tahan salinitas, mikroorganisme ini juga bisa tahan dalam kondisi basa dan asam (pH 4-8).
Jamur ini mampu mengurai senyawa berbahaya chrysene yang susah terurai menjadi karbon dioksida dan air yang aman bagi makhluk hidup.
Kini, Asep mengupayakan penerapan F oxysporum pada kondisi nyata di lapangan. Hal ini tidak mudah. Kondisi di lapangan dipengaruhi berbagai faktor seperti suhu, cuaca, dan arus.
Salah satu obsesi Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Kementerian Kehutanan adalah menemukan bioremediasi untuk pewarna tekstil yang mencemari sungai di kawasan industri tekstil. Kepala Puskonser Adi Susmianto berharap temuan serupa bisa diaplikasikan pada proses industri pulp dan kertas. Industri itu banyak menggunakan pemutih berbahan kimia dalam proses membersihkan warna kertas.
”Temuan Asep semakin menginspirasi Puskonser untuk melakukan upaya koleksi mikroba untuk berbagai kepentingan, baik bioremediasi, biohealth, bioenergi, bioplastik, maupun bioreklamasi,” kata Adi.
Untuk pemanfaatan mikroba sebagai agen bioremediasi, demikian Adi, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kualitas hutan dan lingkungan. Sebagai misal dalam pengolahan asam tambang, reklamasi pascatambang, hingga mengatasi pencemaran logam berat akibat penggunaan air raksa dalam penambangan emas.
Pemanfaatan sumber daya mikroba kian menjanjikan bagi masa depan Indonesia dan dunia. Terlebih lagi, Protokol Nagoya yang diratifikasi Indonesia pada 11 April 2013 membuka harapan pembagian keuntungan bagi pemilik ”plasma nutfah” berupa mikroba hutan tropis dapat digunakan oleh negara lain dan bermanfaat bagi kehidupan penghuni Bumi.
Sumber :Kompas Cetak
0 komentar:
Posting Komentar